Kemana Arah Pendidikan Indonesia
Pertengahan bulan November 2018 dimulai lagi lanjutan teacher
strike alias demonstrasi guru di Selandia Baru. Ini adalah demonstrasi serupa yang terjadi di
bulan Agustus lalu.
Demonstrasi ini bersifat nasional, dan memiliki jadwal demo bergantian antar kota atau region.
Dimulai di hari Senin, 12 November, untuk wilayah Auckland, kota terbesar di Selandia Baru kemudian berlanjut ke region-region yang lain hingga diakhiri di hari Jumat, 16 November, untuk Wellington.
Demonstrasi ini bersifat nasional, dan memiliki jadwal demo bergantian antar kota atau region.
Dimulai di hari Senin, 12 November, untuk wilayah Auckland, kota terbesar di Selandia Baru kemudian berlanjut ke region-region yang lain hingga diakhiri di hari Jumat, 16 November, untuk Wellington.
Setidaknya ada dua
tuntutan utama para guru, yakni perihal kenaikan gaji dan perbaikan kondisi
kerja.
Gaji guru sekolah dasar di Selandia Baru mulai dari NZD47,980 per tahun, atau sekitar Rp. 480 juta per tahun. Namun gaji ini dirasa tidak sebanding dengan beban kerja mereka.
Menurut NZEI (New Zealand Educational Institute), beban kerja guru di Selandia Baru jauh lebih tinggi dibanding negara-negara maju lainnya, yakni 850-900 jam per tahun dibanding 700 jam per tahun.
Argumentasi mereka juga rasional; gaji yang rendah mengurangi minat anak muda untuk menjadi guru. Akibatnya, sekolah-sekolah menjadi kekurangan guru dan ukuran kelas menjadi bertambah besar. Ukuran kelas yang semakin besar membuat guru menjadi cepat letih dan menambah beban administratif.
Dampaknya, proses belajar mengajar menjadi kurang efektif. Jika begini, maka siswa yang menjadi korban.
Gaji guru sekolah dasar di Selandia Baru mulai dari NZD47,980 per tahun, atau sekitar Rp. 480 juta per tahun. Namun gaji ini dirasa tidak sebanding dengan beban kerja mereka.
Menurut NZEI (New Zealand Educational Institute), beban kerja guru di Selandia Baru jauh lebih tinggi dibanding negara-negara maju lainnya, yakni 850-900 jam per tahun dibanding 700 jam per tahun.
Argumentasi mereka juga rasional; gaji yang rendah mengurangi minat anak muda untuk menjadi guru. Akibatnya, sekolah-sekolah menjadi kekurangan guru dan ukuran kelas menjadi bertambah besar. Ukuran kelas yang semakin besar membuat guru menjadi cepat letih dan menambah beban administratif.
Dampaknya, proses belajar mengajar menjadi kurang efektif. Jika begini, maka siswa yang menjadi korban.
Hal penting yang
harus digarisbawahi di sini adalah bukan sekedar uang namun pada menjaga dan
meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Karena guru adalah tulang punggung pengajaran di sekolah, maka sepatutnya mereka mendapatkan kondisi kesejahteraan dan suasana kerja yang lebih baik.
Profesi guru adalah profesi yang tidak lekang jaman. Uniknya, profesi guru harus dituntut untuk menghasikan keluaran yang mampu berkompetisi sesuai dengan jamannya. Guru di masa kini harus dituntut menghasilkan generasi masa depan yang berbeda dari generasi-generasi sebelumnya, terutama dalam hal penguasaan keahlian yang harus dimiliki.
Tapi hal ini sering luput dari perhatian publik. Tidak lain karena hasil-hasil yang dicapai dari keberhasilan dunia pendidikan justru akan secara nyata terlihat dalam jangka panjang.
Karena guru adalah tulang punggung pengajaran di sekolah, maka sepatutnya mereka mendapatkan kondisi kesejahteraan dan suasana kerja yang lebih baik.
Profesi guru adalah profesi yang tidak lekang jaman. Uniknya, profesi guru harus dituntut untuk menghasikan keluaran yang mampu berkompetisi sesuai dengan jamannya. Guru di masa kini harus dituntut menghasilkan generasi masa depan yang berbeda dari generasi-generasi sebelumnya, terutama dalam hal penguasaan keahlian yang harus dimiliki.
Tapi hal ini sering luput dari perhatian publik. Tidak lain karena hasil-hasil yang dicapai dari keberhasilan dunia pendidikan justru akan secara nyata terlihat dalam jangka panjang.
Target jangka
panjang inilah yang harus menjadi perhatian kita semua. Kebutuhan di masa depan
(katakan 20 atau 30 tahun lagi) harus dapat diantisipasi agar generasi yang
menjadi motor penggerak pembangunan saat itu, terutama dalam hal kompetensi dan
keahlian yang dibutuhkan.
World Economic Forum memprediksi tiga keahlian yang banyak dibutuhkan di tahun 2030.
Pertama, kognitif tingkat tinggi, yakni yang berkaitan dengan literasi, analisis kuantitatif, berpikir kritis, dan pemrosesan informasi yang kompleks. Mereka yang termasuk memiliki keahlian ini adalah dokter, akuntan, penulis, editor, dan analis riset.
Kedua, keahlian sosial dan emosional atau soft-skill. Termasuk di dalamnya adalah keahlian komunikasi, negosiasi, empati, adaptif, dan kemampuan mengatur orang lain. Contoh profesi di kelompok ini adalah business development, pemrograman, dan konseling.
Ketiga, berkaitan dengan teknologi, termasuk data analisis, riset, dan pengembangan. Profesi ini yang paling dihargai tinggi oleh perusahaan yang membutuhkan banyak pengembang perangkat lunak.
Para pekerja yang diharapkan siap berkompetisi di tahun 2030 justru kebanyakan saat ini masih duduk di bangku sekolah; merekalah yang membutuhkan guru dan sistem pendidikan yang berkualitas.
World Economic Forum memprediksi tiga keahlian yang banyak dibutuhkan di tahun 2030.
Pertama, kognitif tingkat tinggi, yakni yang berkaitan dengan literasi, analisis kuantitatif, berpikir kritis, dan pemrosesan informasi yang kompleks. Mereka yang termasuk memiliki keahlian ini adalah dokter, akuntan, penulis, editor, dan analis riset.
Kedua, keahlian sosial dan emosional atau soft-skill. Termasuk di dalamnya adalah keahlian komunikasi, negosiasi, empati, adaptif, dan kemampuan mengatur orang lain. Contoh profesi di kelompok ini adalah business development, pemrograman, dan konseling.
Ketiga, berkaitan dengan teknologi, termasuk data analisis, riset, dan pengembangan. Profesi ini yang paling dihargai tinggi oleh perusahaan yang membutuhkan banyak pengembang perangkat lunak.
Para pekerja yang diharapkan siap berkompetisi di tahun 2030 justru kebanyakan saat ini masih duduk di bangku sekolah; merekalah yang membutuhkan guru dan sistem pendidikan yang berkualitas.
Ada berbagai indikator yang dapat digunakan untuk mengukur
kualitas pendidikan di satu negara, seperti angka melek huruf,
angka partisipasi sekolah, maupun indeks komposit seperti yang dikeluarkan oleh
World Economic Forum, Unesco, dan PBB.
Sementara ada indikator lain yang khusus mengukur keluaran atau hasil dari pendidikan. Yang terkenal adalah Programme for International Student Assesment (PISA). PISA mengukur kemampuan siswa dalam hal membaca, matematis, dan sains. Semakin tinggi skor yang didapat maka pendidikan di negara tersebut dikatakan semakin berkualitas..
Pada tahun 2015, Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara. Sementara tiga peringkat puncak ditempati Singapura, Jepang, dan Estonia. Informasinya bisa dilihat di sini
Sementara ada indikator lain yang khusus mengukur keluaran atau hasil dari pendidikan. Yang terkenal adalah Programme for International Student Assesment (PISA). PISA mengukur kemampuan siswa dalam hal membaca, matematis, dan sains. Semakin tinggi skor yang didapat maka pendidikan di negara tersebut dikatakan semakin berkualitas..
Pada tahun 2015, Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara. Sementara tiga peringkat puncak ditempati Singapura, Jepang, dan Estonia. Informasinya bisa dilihat di sini
Sementara itu,
ada indikator lain yang bertujuan mengukur masukan sistem pendidikan.
The Worldwide Educating for the Future Index (WEFI) mengukur kemampuan sistem pendidikan di suatu negara dalam mempersiapkan siswa agar siap menghadapi masa depan (dunia kerja) yang senantiasa berubah.
Indeks ini juga merfleksikan kemampuan sistem pendidikan dalam beradaptasi dan mengantisipasi perubahan yang terjadi. Indeks ini dihitung berdasarkan aspek kebijakan pendidikan, suasana pembelajaran, dan kondisi sosial ekonomi di 35 negara yang disurvei.
Negara yang berada di urutan pertama dalam mempersiapkan siswanya untuk masa depan adalah Selandia Baru. Posisi kedua dan ketiga adalah Kanada dan Finlandia. Sementara Indonesia berada di posisi 34. Peringkat Indonesia bahkan lebih rendah daripada Nigeria (posisi 32) dan Mesir (posisi 33). Informasinya bisa dilihat di sini
The Worldwide Educating for the Future Index (WEFI) mengukur kemampuan sistem pendidikan di suatu negara dalam mempersiapkan siswa agar siap menghadapi masa depan (dunia kerja) yang senantiasa berubah.
Indeks ini juga merfleksikan kemampuan sistem pendidikan dalam beradaptasi dan mengantisipasi perubahan yang terjadi. Indeks ini dihitung berdasarkan aspek kebijakan pendidikan, suasana pembelajaran, dan kondisi sosial ekonomi di 35 negara yang disurvei.
Negara yang berada di urutan pertama dalam mempersiapkan siswanya untuk masa depan adalah Selandia Baru. Posisi kedua dan ketiga adalah Kanada dan Finlandia. Sementara Indonesia berada di posisi 34. Peringkat Indonesia bahkan lebih rendah daripada Nigeria (posisi 32) dan Mesir (posisi 33). Informasinya bisa dilihat di sini
Negara-negara
peringkat tinggi memiliki strategi yang berbeda-beda dalam mempersiapkan
siswanya untuk masa depan. Ada yang membekali para guru agar mampu mengarahkan siswa
untuk memilih pendidikan terbaik sesuai dengan potensi yang dimiliki, sementara
ada juga yang melengkapi dengan layanan konseling.
Sementara keunggulan Selandia Baru adalah kesesuaian antara dunia pendidikan dengan dunia industri, pemanfaatan teknologi informasi, serta kolaborasi antar sekolah atau antara sekolah dengan lembaga lain.
Sebaliknya, negara-negara yang memiliki peringkat rendah adalah mereka yang lemah dalam pengembangan keahlian yang dibutuhkan siswa seperti dalam project based learning atau global citizenship.
Temuan yang unik di sini adalah tidak ada korelasi kuat antara temuan di PISA dan di WEFI. Negara-negara yang memiliki peringkat tinggi di PISA belum tentu memiliki peringkat tinggi juga di WEFI.
Malangnya, Indonesia yang berada di peringkat rendah PISA juga berada di peringkat rendah WEFI.
Sementara keunggulan Selandia Baru adalah kesesuaian antara dunia pendidikan dengan dunia industri, pemanfaatan teknologi informasi, serta kolaborasi antar sekolah atau antara sekolah dengan lembaga lain.
Sebaliknya, negara-negara yang memiliki peringkat rendah adalah mereka yang lemah dalam pengembangan keahlian yang dibutuhkan siswa seperti dalam project based learning atau global citizenship.
Temuan yang unik di sini adalah tidak ada korelasi kuat antara temuan di PISA dan di WEFI. Negara-negara yang memiliki peringkat tinggi di PISA belum tentu memiliki peringkat tinggi juga di WEFI.
Malangnya, Indonesia yang berada di peringkat rendah PISA juga berada di peringkat rendah WEFI.
Maka, menjadi
koreksi bagi kita semua, dan terutama para pengambil kebijakan, tentang
pentingnya arah pendidikan Indonesia agar mampu mengantisipasi kebutuhan di
masa mendatang. Dan agar anak-anak Indonesia mampu berjalan di baris terdepan
dalam menentukan arah bagi dirinya sendiri dan generasinya kelak.
(Thomas Soseco)
(Thomas Soseco)