Agar BPJS Tidak Kolaps


Image result for bpjs kesehatan

Defisit BPJS Kesehatan di tahun 2018 diperkirakan mencapai Rp. 16,5 triliun. Berbagai pihak merasa dana talangan yang dikeluarkan pemerintah sejumlah Rp. 4,9 triliun tidak akan mampu berbuat banyak jika permasalahan sistemiknya tidak kunjung diatasi (health.detikcom, 17/09/2018). Bukan tahun ini pula BPJS kesehatan mengalami defisit keuangan; bahkan sejak pertama kalinya ia beroperasi, langsung mengalami defisit. Jumlah defisitnya pun cenderung naik dari tahun ke tahun. 

Terdapat setidaknya tiga penyebab defisit tersebut. Defisit tersebut disebabkan oleh iuran peserta yang terlalu rendah, angka kesakitan (morbiditas) yang terlalu tinggi, dan adanya penyakit katastropik (penyakit berat yang membutuhkan biaya tinggi) yang harus ditanggung.

Dalam prinsip keuangan yang sederhana, terdapat satu prinsip untuk mencapai keadaan anggaran berimbang: menambah pemasukan, atau mengurangi pengeluaran. Dalam konteks BPJS Kesehatan, yang mana sebagian besar pemasukan berasal dari iuran peserta, idealnya iuran kepesertaan harus dinaikkan. Namun demikian, hal ini tidak gampang karena seketika memicu resistensi berbagai pihak. 

Maka, pilihan paling logis adalah adalah mengurangi pengeluaran. Namun jangan pula BPJS Kesehatan memangkas manfaat yang dinikmati oleh peserta. Yang patut dipertimbangkan adalah mengurangi pengeluaran yang seharusnya bisa dielakkan.

BPJS Kesehatan tentu tidak bisa bekerja sendiri. BPJS Kesehatan seharusnya hanya berfungsi sebagai jaring pengaman bagi masyarakat kala sakit. Sebisa mungkin masyarakat yang berinisiatif untuk menjaga kesehatannya sendiri. 

Pemerintah juga tidak boleh lepas tangan. Karena layanan kesehatan adalah untuk jangka panjang, maka prinsip yang harus dipegang pemerintah adalah mampu membuat masyarakatnya lebih sehat dari tahun ke tahun.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan persentase penduduk yang mempunyai keluhan kesehatan selama sebulan terakhir pada periode 2000-2017 cenderung berbentuk kurva U-terbalik. 

Pada tahun 2000 sebanyak 25,58% penduduk melaporkan mengalami keluhan kesehatan. Angka ini naik hingga mencapai puncaknya pada tahun 2009 yang mencapai 33,68% dan kemudian turun kembali hinga tahun 2017 yang mencapai 28,62%. Bahkan persentase penduduk yang mempunyai keluhan kesehatan sebulan terakhir di tahun 2016 dan 2017 masih lebih tinggi daripada 15 tahun sebelumnya. 

Secara persentase, kenaikan atau penurunannya mungkin terlihat kecil. Tapi secara nominal, angka yang dihasilkan akan jauh berbeda. Hal in tidak lepas dari kondisi jumlah penduduk pada tahun 2017 sudah 60 juta lebih banyak daripada tahun 2000.

Maka, promosi kesehatan menjadi penting. Promosi kesehatan harus diawali dengan adanya kesadaran, kemudian diiringi dengan perubahan prilaku dan adanya lingkungan yang mendukung. Akan lebih mudah dan murah membiayai tindakan preventif daripada membiayai tindakan medis. 

Akan lebih baik menghabiskan banyak dana berupa penyuluhan di kompleks perumahan, penyuluhan di sekolah, mencetak brosur atau poster, atau pembuatan iklan di media massa, daripada harus melakukan tindakan penyembuhan. Juga, akan lebih mudah dan murah membangun lapangan olah raga atau pusat kebugaran daripada membangun puskesmas atau rumah sakit.

Jangan Sakit

Masyarakat juga harus sadar bahwa, meski ditanggung oleh BPJS, jatuh sakit tetap membawa dua konsekuensi. Pertama, adanya biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung contohnya berupa biaya transportasi untuk pergi ke fasilitas kesehatan dan biaya konsumsi pihak yang menemani. 

Biaya tidak langsung berupa terganggunya aktivitas sehari-hari. Contohnya adalah seorang pekerja yang sakit akan menyebabkan tanggungan pekerjaan di kantor semakin menumpuk, suami atau istri sakit akan menyebabkan ritme rumah tangga akan terganggu, dan saat anak sakit, salah satu orang tua akan mengorbankan jam kerjanya. 

Kedua, adanya biaya peluang. Biaya peluang yakni peluang yang tidak jadi diperoleh karena yang bersangkutan sakit. Contohnya adalah karyawan tidak bisa promosi jabatan karena ia sakit-sakitan, keluarga yang tidak jadi menikmati liburan karena salah satu anggota keluarganya mendadak sakit, atau anak sekolah yang tidak bisa masuk ke perguruan tinggi impian karena ia tidak bisa belajar maksimal gara-gara sakit.

Manajemen Resiko

Manajemen resiko perlu lebih diintensifkan. Peserta BPJS Kesehatan perlu dipilah berdasarkan resiko yang mereka miliki. Mereka yang beresiko rendah dan tertib administrasi tapi tidak pernah berobat patut diberi penghargaan. Sebaliknya, mereka yang memiliki resiko tinggi, apalagi mereka yang mereka yang memiliki pola hidup tidak sehat yang seharusnya bisa dicegah justru perlu diberi disinsentif.

Maka, karena kesehatan berkaitan dengan aspek jangka panjang manusia, prilaku hidup sehat harus terus menerus menjadi tujuan utama manusia Indonesia. Jika manusia Indonesia tidak menjadi lebih sehat, akan semakin besar masalah yang bisa menimpa BPJS Kesehatan di kemudian hari.

(Thomas Soseco)


Popular posts from this blog

Skewness dan Kurtosis

Piramida Distribusi Kekayaan Masyarakat Indonesia

Palma Ratio Indonesia

KKN di Desa Penari

Daya Beli Masyarakat, in this Economy: Dunia Usaha dan Perspektif Ekonomi Makro

Berapa Rata-Rata Kekayaan Rumah Tangga di Indonesia?

Robustness Check