Resensi Buku Ekonomi Kerakyatan
Judul :
Ekonomi Kerakyatan: Urgensi, Konsep dan Aplikasi. Sebuah Mimpi dan Peta Jalan
Bagi Kemandirian Bangsa
Penulis : Awan Santosa
Penerbit : UMBY dan Sekra
Tahun : 2010
Edisi :Pertama
Halaman : 264+viii
Peresensi : Thomas Soseco
Email : thomassoseco@gmail.com
Masih Relevankah Ekonomi Kerakyatan Saat Ini?
Pembahasan mengenai ekonomi kerakyatan
telah dimulai sejak tahun 1980-an di Indonesia. Aliran
ini mencoba menjelaskan terjadinya kerikil – kerikil tajam dalam sistem ekonomi
kapitalisme. Aliran kapitalisme yang berciri utama persaingan bebas telah
dianut sebagian besar bangsa.
Negara – negara maju berhasil mencapai kemajuan yang mengesankan karena mereka menganut sistem ekonomi kapitalisme. Negara – negara di Eropa, Amerika Utara telah mencapai tingkat perekonomian dan kehidupan sosial yang mengagumkan.
Negara – negara maju berhasil mencapai kemajuan yang mengesankan karena mereka menganut sistem ekonomi kapitalisme. Negara – negara di Eropa, Amerika Utara telah mencapai tingkat perekonomian dan kehidupan sosial yang mengagumkan.
Hal inilah yang ingin dicapai oleh negara – negara berkembang
lainnya. Dengan mengadopsi sistem yang sama, mereka ingin mencapai pertumbuhan
ekonomi dan kehidupan sosial yang maju.
Namun negara – negara berkembang tampaknya lupa, sistem kapitalisme yang berciri utama persaingan bebas juga berlaku dalam hubungan antar bangsa. Konsekuensi dari hal ini adalah terjadinya persaingan bangsa – bangsa dalam mencapai tingkat kemajuan yang tinggi.
Negara miskin akan berusaha untuk lebih kaya, sementara negara kaya berusaha untuk lebih kaya lagi.
Namun negara – negara berkembang tampaknya lupa, sistem kapitalisme yang berciri utama persaingan bebas juga berlaku dalam hubungan antar bangsa. Konsekuensi dari hal ini adalah terjadinya persaingan bangsa – bangsa dalam mencapai tingkat kemajuan yang tinggi.
Negara miskin akan berusaha untuk lebih kaya, sementara negara kaya berusaha untuk lebih kaya lagi.
Hal ini kemudian memunculkan teori ketergantungan.
Teori yang dikembangkan sejak tahun 1960-an mendapat dukungan dari ekonom – ekonom terutama di negara dunia ketiga. Namun tak sedikit pula yang mencoba mencari alternatif baru teori pembangunan, yakni dengan menggali karakteristik negara masing – masing. Hal ini juga terjadi di Indonesia.
Dengan dipelopori oleh Prof. Mubyarto, nilai – nilai prilaku ekonomi masyarakat Indonesia hendak digali dan dirumuskan.
Teori yang dikembangkan sejak tahun 1960-an mendapat dukungan dari ekonom – ekonom terutama di negara dunia ketiga. Namun tak sedikit pula yang mencoba mencari alternatif baru teori pembangunan, yakni dengan menggali karakteristik negara masing – masing. Hal ini juga terjadi di Indonesia.
Dengan dipelopori oleh Prof. Mubyarto, nilai – nilai prilaku ekonomi masyarakat Indonesia hendak digali dan dirumuskan.
Buku ini ditulis oleh Awan Santosa, yang merupakan peneliti Pusat
Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada. Melalui berbagai kerjasama
dengan Prof. Mubyarto, Awan Santosa mencoba membakukan ekonomi kerakyatan,
hingga bukan lagi sekedar konsep yang abstrak.
Buku ini menceritakan berbagai pengalaman bangsa Indonesia dalam memperjuangkan ekonomi kerakyatan, dalam berbagai artikel yang ditulis oleh Awan Santosa maupun sumbangan pemikiran ekonom lain.
Buku ini menceritakan berbagai pengalaman bangsa Indonesia dalam memperjuangkan ekonomi kerakyatan, dalam berbagai artikel yang ditulis oleh Awan Santosa maupun sumbangan pemikiran ekonom lain.
Awan Santosa pertama – tama hendak mengulas terjadinya praktek
kecurangan dalam pelaksanaan perekonomian Indonesia.
Perekonomian Indonesia bukan lagi didasarkan pada kehendak rakyat dan disusun untuk sebesar – besarnya untuk kesejahteraan rakyat, melainkan lebih kepada untuk mensejahterakan segelintir rakyat.
Sektor pertambangan Indonesia merupakan sektor yang paling dieksploitasi. Pemerintah mengundang masuknya perusahaan asing yang kemudian mengeruk sumber alam bumi pertiwi.
Gonjang – ganjing pada bulan Oktober 2011 mengenai aliran dana dari PT Freeport kepada petugas keamanan TNI dan Polri yang bertugas di wilayah operasional PT Freeport ternyata sudah tercium sejak lama. Perusahan – perusahaan pertambangan asing sudah lama mengalirkan dana ke aparat keamanan, pejabat pemerintahan dan parlemen. Motivasinya tentu saja untuk “mengamankan” bisnis mereka.
Perekonomian Indonesia bukan lagi didasarkan pada kehendak rakyat dan disusun untuk sebesar – besarnya untuk kesejahteraan rakyat, melainkan lebih kepada untuk mensejahterakan segelintir rakyat.
Sektor pertambangan Indonesia merupakan sektor yang paling dieksploitasi. Pemerintah mengundang masuknya perusahaan asing yang kemudian mengeruk sumber alam bumi pertiwi.
Gonjang – ganjing pada bulan Oktober 2011 mengenai aliran dana dari PT Freeport kepada petugas keamanan TNI dan Polri yang bertugas di wilayah operasional PT Freeport ternyata sudah tercium sejak lama. Perusahan – perusahaan pertambangan asing sudah lama mengalirkan dana ke aparat keamanan, pejabat pemerintahan dan parlemen. Motivasinya tentu saja untuk “mengamankan” bisnis mereka.
Eksploitasi yang lain adalah perihal bahan bakar minyak.
Pada halaman 37, sebanyak 85,4% dari 137 konsesi pengelolaan lapangan minyak dan gas di Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing. Padahal Indonesia memiliki PT Pertamina yang memiliki kualitas teknologi dan sumber daya manusia yang sejajar dengan perusahaan – perusahaan asing.
Dan dominasi asing ini telah melemahkan kontrol negara terhadap alokasi produksi, biaya produksi, cost recovery dan tingkat harga minyak.
Pada tahun 2007 Indonesia memang mengimpor BBM sebanyak 302.599 barel per hari, sementara pada saat yang sama 348.314 barel per hari minyak Indonesia dijual ke luar negeri (halaman 38).
Hal ini menunjukkan orientasi bisnis perusahaan minyak bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan domestik melainkan untuk mengeruk keuntungan semata.
Pada halaman 37, sebanyak 85,4% dari 137 konsesi pengelolaan lapangan minyak dan gas di Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing. Padahal Indonesia memiliki PT Pertamina yang memiliki kualitas teknologi dan sumber daya manusia yang sejajar dengan perusahaan – perusahaan asing.
Dan dominasi asing ini telah melemahkan kontrol negara terhadap alokasi produksi, biaya produksi, cost recovery dan tingkat harga minyak.
Pada tahun 2007 Indonesia memang mengimpor BBM sebanyak 302.599 barel per hari, sementara pada saat yang sama 348.314 barel per hari minyak Indonesia dijual ke luar negeri (halaman 38).
Hal ini menunjukkan orientasi bisnis perusahaan minyak bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan domestik melainkan untuk mengeruk keuntungan semata.
Kontrol asing ini juga telah menyebabkan
biaya produksi membengkak hingga US$ 9 per barel, jauh di atas biaya produksi
di Malaysia yang hanya sebesar US$3,7 per barel atau di kawasan North Sea yang
sebesar US$ 3 per barel. Di samping itu, cost recovery juga kian meningkat
hingga mencapai 30 persen pada tahun 2007.
Kontrol asing semakin terasa saat harga minyak Indonesia “dipaksa” ditentukan oleh New York Merchantile Exchange. Padahal hampir tidak ada minyak Indonesia yang diperdagangkan di sana, atau bahkan volume transaksi di pasar minyak tersebut hanya sebesar 30 persen volume transaksi dunia. (Halaman 38).
Kontrol asing semakin terasa saat harga minyak Indonesia “dipaksa” ditentukan oleh New York Merchantile Exchange. Padahal hampir tidak ada minyak Indonesia yang diperdagangkan di sana, atau bahkan volume transaksi di pasar minyak tersebut hanya sebesar 30 persen volume transaksi dunia. (Halaman 38).
Sektor pertanian yang merupakan penggerak
utama perekonomian bangsa Indonesia kini telah menjadi cerita masa lalu. Sektor
pertanian saat ini tidak ubahnya sebagai lahan empuk eksploitasi perusahaan
multinasional, tanpa takut adanya perlawanan dari para petani.
Buku Ekonomi Kerakyatan ini mencoba mengungkap sebuah kasus ketidakberdayaan petani di sektor pertanian.
Dengan mengambil konsentrasi pada pola pemasaran hasil pertanian di desa – desa di Kecamatan Imogori Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Awan Santosa menemukan beberapa fakta:
Buku Ekonomi Kerakyatan ini mencoba mengungkap sebuah kasus ketidakberdayaan petani di sektor pertanian.
Dengan mengambil konsentrasi pada pola pemasaran hasil pertanian di desa – desa di Kecamatan Imogori Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Awan Santosa menemukan beberapa fakta:
Pertama, penjualan komoditas – komoditas pertanian
seperti padi, kacang tanah, tembakau, bawang merah dan jagung ternyata dikuasai
oleh tengkulak. Sekitar 71 persen hasil panen langsung dibeli oleh tengkulak,
sementara hanya 23 persen yang mampu dijual langsung ke pembeli, 0,6 persen
melalui koperasi, 1,6 persen melalui gilingan dan 5,8 persen melalui pola
pemasaran lain.
Kedua, dominasi peranan tengkulak ternyata membawa implikasi
dalam penentuan harga. Harga komoditas – komoditas pertanian lebih banyak
ditentukan oleh tengkulak yakni sebesar 64,2 persen. Sementara kuatnya pengaruh
pasar hanya menentukan 27,2 persen harga komoditas dan yang lebih miris, petani
hanya mampu menetapkan harga sendiri sebanyak 1,2 persen. Sisanya, 7 persen
ditentukan oleh cara dan pihak lain.
Temuan – temuan tersebut menunjukkan
ketidakberdayaan para petani. Mereka kini hanya sebagai buruh penggarap, meski
di lahan milik sendiri dan dengan modal milik sendiri. Mereka harus patuh pada
kekuatan yang sangat besar.
Buku Ekonomi Kerakyatan ini menawarkan
berbagai alternatif solusi.
Pada Bagian Ketiga buku ini, Awan Santosa mengutarakan berbagai alternatif penyelesaian masalah.
Pertama dan yang paling utama adalah memperkokoh kemandirian bangsa.
Perusahaan – perusahaan BUMN dan BUMD harus diarahkan untuk menjadi perusahaan yang kreatif dan efisien dan bukan sekedar perusahaan yang berdiri untuk menghidupi para pegawainya saja.
Alternatif solusi yang lain adalah pola kepemilikan buruh atas perusahaan.
Solusi lain terutama berkaitan dengan masyarakat desa adalah aplikasi perbankan bagi masyarakat desa. Ketergantungan para petani atas tengkulak dan perusahaan – perusahaan multinasional akan dapat diatasi dengan pinjaman modal, a la Grameen Bank di Bangladesh.
Pada Bagian Ketiga buku ini, Awan Santosa mengutarakan berbagai alternatif penyelesaian masalah.
Pertama dan yang paling utama adalah memperkokoh kemandirian bangsa.
Perusahaan – perusahaan BUMN dan BUMD harus diarahkan untuk menjadi perusahaan yang kreatif dan efisien dan bukan sekedar perusahaan yang berdiri untuk menghidupi para pegawainya saja.
Alternatif solusi yang lain adalah pola kepemilikan buruh atas perusahaan.
Solusi lain terutama berkaitan dengan masyarakat desa adalah aplikasi perbankan bagi masyarakat desa. Ketergantungan para petani atas tengkulak dan perusahaan – perusahaan multinasional akan dapat diatasi dengan pinjaman modal, a la Grameen Bank di Bangladesh.
Bab Ketiga buku ini juga memperkenalkan
Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI).
Indeks ini diajukan untuk memecahkan kebuntuan tentang sebuah pertanyaan yang sederhana: Bagaimana Anda tahu bahwa perekonomian suatu daerah telah beralih dari pro-rakyat menjadi pro-kapitalis?
Untuk menjawab hal ini diperlukan suatu ukuran atau norma yang sudah baku dan terstandardisasi. Ukuran – ukuran tersebut yang kemudian disusun menjadi sebuah indeks, yang oleh Awan Santosa disebut Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI). Dengan menggunakan indeks ini, para peneliti dapat dengan mudah menentukan posisi perekonomian suatu daerah apakah masih pro-rakyat atau sudah berpaling menjadi pro-kapitalis.
Indeks ini diajukan untuk memecahkan kebuntuan tentang sebuah pertanyaan yang sederhana: Bagaimana Anda tahu bahwa perekonomian suatu daerah telah beralih dari pro-rakyat menjadi pro-kapitalis?
Untuk menjawab hal ini diperlukan suatu ukuran atau norma yang sudah baku dan terstandardisasi. Ukuran – ukuran tersebut yang kemudian disusun menjadi sebuah indeks, yang oleh Awan Santosa disebut Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI). Dengan menggunakan indeks ini, para peneliti dapat dengan mudah menentukan posisi perekonomian suatu daerah apakah masih pro-rakyat atau sudah berpaling menjadi pro-kapitalis.
Keunggulan lain buku ini adalah Awan Santosa mengundang beberapa
pakar untuk memberi kontribusi tulisan. Beberapa pakar tersebut adalah
Revrisond Baswir (Pustek UGM), Henry Saragih (Serikat Petani Indonesia), Iman
Sugema (InterCafe-IPB), Hendri Saparini (Econit), Dani Setiawan (Koalisi Anti
Utang) dan Khalisah Khalid (Walhi).
Buku Ekonomi Kerakyatan ini juga tidak lepas
dari berbagai kekurangan.
Pertama, tidak ada pembahasan mendetil mengenai teori – teori yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kapitalisme. Mengapa kapitalisme harus diantisipasi, bagaimana asal muasal kapitalisme, dan mengapa kapitalisme tidak sesuai dengan Indonesia tampaknya masih belum mendapat perhatian dari Awan Santosa.
Awan Santosa masih sekedar menyajikan data dan fakta miris yang tejadi di berbagai daerah di Indonesia, dan belum membentuk sebuah teori baru. Hal ini sejalan dengan pernyataan beberapa pakar yang menyatakan bahwa ekonomi kerakyatan masih berupa teori yang abstrak dan masih berusaha mencari jati dirinya.
Maka, Awan Santosa hendaknya mengajukan sebuah gagasan baru. Realita penghisapan kekayaan alam oleh bangsa asing tidak hanya dialami oleh Bangsa Indonesia, namun juga dialami oleh negara – negara sedang berkembang lain.
Teori yang muncul dari Indonesia dapat pula diaplikasikan untuk negara lain.
Pertama, tidak ada pembahasan mendetil mengenai teori – teori yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kapitalisme. Mengapa kapitalisme harus diantisipasi, bagaimana asal muasal kapitalisme, dan mengapa kapitalisme tidak sesuai dengan Indonesia tampaknya masih belum mendapat perhatian dari Awan Santosa.
Awan Santosa masih sekedar menyajikan data dan fakta miris yang tejadi di berbagai daerah di Indonesia, dan belum membentuk sebuah teori baru. Hal ini sejalan dengan pernyataan beberapa pakar yang menyatakan bahwa ekonomi kerakyatan masih berupa teori yang abstrak dan masih berusaha mencari jati dirinya.
Maka, Awan Santosa hendaknya mengajukan sebuah gagasan baru. Realita penghisapan kekayaan alam oleh bangsa asing tidak hanya dialami oleh Bangsa Indonesia, namun juga dialami oleh negara – negara sedang berkembang lain.
Teori yang muncul dari Indonesia dapat pula diaplikasikan untuk negara lain.
Kekurangan kedua
buku Ekonomi Kerakyatan ini adalah masih belum terdapat “jembatan penghubung”
yang manis antara satu artikel dan artikel lain. Keterkaitan antara satu
artikel dan artikel lain tidak hanya karena kesamaan topik, namun juga harus
disertai dengan adanya jembatan penghubung.
Contohnya adalah di Bagian Satu, dimana terdapat dua artikel yang berbeda namun masih memiliki tanda tanya dalam hal keterkaitannya, yakni hubungan neokolonialisme dengan kemiskinan dan krisis global. Mengapa tiba – tiba muncul neokolonialisme dalam hal kemiskinan dan krisis global, sementara artikel – artikel lain dalam Bagian Satu membahas aplikasi neokolonialisme dalam sektor – sektor perekonomian di Indonesia?
Jembatan penghubung tersebut berguna untuk menghindari agar buku Ekonomi Kerakyatan ini tidak sekedar proceeding seminar alias kumpulan artikel saja, tanpa membentuk sebuah jalan cerita yang menarik.
Kekurangan ketiga buku ini adalah tidak adanya indeks. Pembaca dapat mengalami kesulitan bila ingin melakukan pencarian cepat atas sebuah kata kunci, karena buku ini tidak menyediakan indeks.
Contohnya adalah di Bagian Satu, dimana terdapat dua artikel yang berbeda namun masih memiliki tanda tanya dalam hal keterkaitannya, yakni hubungan neokolonialisme dengan kemiskinan dan krisis global. Mengapa tiba – tiba muncul neokolonialisme dalam hal kemiskinan dan krisis global, sementara artikel – artikel lain dalam Bagian Satu membahas aplikasi neokolonialisme dalam sektor – sektor perekonomian di Indonesia?
Jembatan penghubung tersebut berguna untuk menghindari agar buku Ekonomi Kerakyatan ini tidak sekedar proceeding seminar alias kumpulan artikel saja, tanpa membentuk sebuah jalan cerita yang menarik.
Kekurangan ketiga buku ini adalah tidak adanya indeks. Pembaca dapat mengalami kesulitan bila ingin melakukan pencarian cepat atas sebuah kata kunci, karena buku ini tidak menyediakan indeks.
Daftar Referensi
Hakim, Lukman, dkk. 2009. Visi
Perekonomian Indonesia 2030. Solo: BPEP
Santosa, Awan. 2010. Ekonomi Kerakyatan: Urgensi, Konsep dan
Aplikasi. Sebuah Mimpi dan Peta Jalan Bagi Kemandirian Bangsa.
Supriatna, Tjahya. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan.
Jakarta: Rineka Cipta
(Thomas Soseco)