Privilege dan Kenapa Kerja Keras saja Tidak Cukup
Pemberitaan dari Menteri Kesehatan RI (17/05) mengenai pernyataan orang dengan gaji Rp.15 juta memiliki kepintaran dan kesehatan yang lebih baik dibandingkan masyarakat dengan upah Rp.5 juta memantik keriuhan di media sosial.
Secara implisit, pernyataan ini juga membawa implikasi diperlukannya kesadaran masyarakat untuk menjaga tingkat kesehatan, misalnya dengan memperhatikan body mass index atau BMI yang ideal. Dengan demikian, masyarakat tidak gampang sakit, bisa bekerja lebih baik, dan produktivitas bertambah.
Jika menteri kesehatan fokus pada masalah-masalah kesehatan, pernyataan tadi juga bisa ditinjau dari sisi ekonomi. Pendapatan Rp.15 juta versus Rp.5 juta membawa implikasi ada kelompok masyarakat yang memiliki tingkat kepintaran dan tingkat kesehatan lebih baik daripada kelompok lain. Lebih lanjut lagi, kenapa ada orang dikatakan lebih pintar atau lebih sehat dibandingkan dengan orang lain?
Jika komparasi bisa dikembangkan ke hal-hal lain, seperti lebih kaya, lebih good looking, lebih fasih teknologi dan bahasa asing, bagaimana nasib orang-orang yang tidak memiliki kesempatan untuk menjadi lebih kaya, good looking, dan sebagainya bisa berkompetisi?
Perbedaan Starting Point
Perbedaan ini juga akan menyebabkan perbedaan dalam starting point dalam karir mereka.
Sehingga bisa jadi, dua orang pada usia yang sama dan lulus dari jenjang pendidikan yang sama akan memiliki perbedaan pendapatan karena starting point mereka berbeda. Contohnya, sesama lulusan SMA dan terjun ke dunia kerja, namun satu orang bisa langsung bekerja dan belajar berbisnis karena orang tuanya memiliki toko/tempat usaha sementara orang lain masih harus berjuang mencari kerja atau mencoba merintis usaha karena orang tuanya tidak memiliki usaha.
Dampaknya adalah pada usia yang sama, tingkat pendapatan mereka juga akan berbeda.
Contoh yang lebih ekstrim terlihat pada para pengusaha teknologi informasi, seperti Bill Gates, Steve Jobs, dan Elon Musk. Mereka sejatinya juga tidak memulai dari nol.
Jenis-jenis Privilege
Privilege memiliki kata kunci penting yakni bisa diwariskan dan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Maka, karena sifatnya bisa diwarisi, orang tua yang memiliki privilege tertentu juga akan cenderung membuat anak-anaknya juga memiliki privilege yang sama.
Privilege bisa berasal dari beberapa sumber. Pertama, status sosioekonomi keluarga. Contohnya, anak pengurus di lingkup sosial dan kemasyarakatan (misalnya RT/RW atau pengurus tempat ibadah) juga biasanya akan mendapat kemudahan atau posisi sosial tinggi dalam bergaul di lingkungannya. Orang berdarah biru (dari keluarga bangsawan/kerajaan) juga akan menempati posisi-posisi strategis di masyarakat.
Kedua, pekerjaan/usaha orang tua. Contohnya, posisi jabatan di pemerintahan akan memudahkan anggota keluarganya untuk studi dan bekerja melalui jejaring koneksinya. Contoh lain adalah pengusaha sukses akan membuat anak-anaknya memiliki akses ke sekolah mahal, magang di luar negeri, belajar mengurus usaha sejak dini (karena orang tuanya sudah punya jejaring supplier, distributor, dan konsumen), serta akses ke permodalan jika ingin mendirikan usaha sendiri.
Ketiga, tingkat pendidikan dan spesialisasi. Contohnya, profesi dokter, tentara, pengacara, dan politikus akan membuat anak-anak mereka juga memiliki profesi yang sama dengan orang tuanya. Hal ini terjadi karena adanya finansial yang memadai, jejaring yang kuat, serta didikan dan role model dari orang tuanya.
Keempat, aset yang diwarisi. Banyaknya aset yang diwarisi menunjukkan status kekayaan generasi pendahulunya sehingga status "orang kaya" juga akan berpindah ke generasi yang mewarisi aset tersebut.
Kelima, lokasi. Tinggal di lingkungan yang mendukung kinerja dan produktivitas akan memberi privilege lebih tinggi dibanding tinggal di lingkungan yang tidak supportif pada kinerja dan produktivitas. Contohnya, tinggal di pemukiman yang aman dan nyaman dapat menghindarkan diri dari penyakit dan gangguan keamanan yang berpotensi membawa kerugian finansial. Sementara orang-orang lain yang tinggal di lingkungan kumuh dan rawan harus berhadapan dengan risiko penyakit, suasana kerja yang tidak nyaman, serta penyakit sosial yang berpotensi ke arah kriminalitas.
Orang yang Tidak Punya Privilege
Jika privilege keluarga dapat menunjang kesuksesan seseorang, maka bagaimana nasib orang yang tidak punya privilege?
Bagi orang-orang yang memiliki kelas sosial lebih rendah, ini berarti mereka harus berjuang setiap hari. Bertahan hidup setiap hari termasuk juga berjuang agar bisa naik kelas alias class struggle.
Berbagai penelitian menunjukkan masyarakat yang berhadapan dengan situasi yang sulit akan sanggup menerima risiko lebih tinggi dalam pekerjaannya.
Jika dibiarkan terlalu parah, hal ini akan menyebabkan kesenjangan antar kelas yang semakin melebar. Kohesi di masyarakat akan semakin pudar karena masyarakat yang paling miskin akan tetap harus berjuang hanya untuk bertahan hidup sementara pada saat yang sama, ada orang-orang yang bisa hidup lebih santai hanya karena mereka memiliki privilege.
Upaya Pemerintah
Pemerintah perlu mengintervensi agar setiap orang yang memiliki starting point rendah dapat memiliki kesempatan yang sama dengan orang lain yang memiliki starting point lebih tinggi.
Beberapa hal bisa dilakukan, yakni fokus pada masyarakat yang berada di kelas paling bawah atau yang paling terpinggirkan. Karena pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya, energi, dan dana, maka prioritas adalah untuk masyarakat yang paling bawah atau terpinggirkan.
Bantuan tunai diperlukan agar mereka bisa memenuhi kebutuhan minimalnya. Kemudian akses dan layanan gratis (seperti kesehatan, pendidikan) sehingga bisa meminimalkan pengeluaran rumah tangga tersebut.
Dalam jangka panjang, pemerintah perlu membuat agar setiap orang atau setiap rumah tangga memiliki privilege yang bisa diwariskan. Contohnya, dalam akumulasi aset, setiap orang perlu didorong untuk tidak hanya berfokus pada upaya menaikkan pendapatan namun juga harus bisa mengelolanya agar bisa mengakumulasi aset.
Hal ini perlu dikombinasikan dengan upaya mengontrol pertambahan jumlah penduduk. Karena orientasi orang tua masa kini seharusnya adalah menciptakan anak yang berkualitas dan ditunjang oleh ketersediaan privilege bagi si anak dan bukan hanya tercukupinya kebutuhan dasar si anak sekarang.
Penutup
Saat persaingan di dunia kerja semakin sengit, kerja keras saja tampaknya masih belum cukup untuk menunjang kesuksesan. Perlu juga satu hal penting yang seharusnya bisa diwarisi dari generasi sebelumnya, yakni privilege (TS).