Bonus Demografi yang bukan Bonus Ekonomi
Tetsuya Ishida, Gripe, 1996
Tetsuya Ishida (1973-2005) adalah pelukis surealis Jepang yang menangkap kegelisahan dan trauma anak muda Jepang yang mencapai usia dewasa pada tahun 1990-an, selama Dekade Hilang (Lost Decade) di negara tersebut.
Pada tahun 1991, gelembung (bubble) ekonomi Jepang meledak, mengakhiri periode pertumbuhan ekonomi pesat yang dimulai setelah Perang Dunia II. Hal ini ditandai dengan tingkat pengangguran naik tiga kali lipat, banyak kaum muda tidak dapat memperoleh pekerjaan penuh waktu dan harus beralih ke pekerjaan kasual dan bergaji rendah, atau tidak bekerja sama sekali.
Berbagai lukisannya menggambarkan situasi anak muda Jepang yang menarik diri dari kehidupan sosial, yang dikenal dengan hikikomori. Banyak dari mereka adalah pengangguran, laki-laki, tidak pernah keluar dari kamar, dan bergantung sepenuhnya pada orang tua. Di berbagai lukisan, Ishida menggambarkan mereka berada dalam kondisi inferior namun dilengkapi dengan kecanggihan teknologi pada masa itu. Hal ini membuat mereka bisa tetap berinteraksi dengan dunia luar namun tetap mempertahankan anonimitas.
Kegamangan anak muda untuk masuk (atau diterima) di pasar tenaga kerja juga terjadi terus menerus di berbagai belahan dunia sampai masa kini.
Opini Daily Telegraph menyajikan kondisi miris tentang Generasi Z, yakni mereka yang lahir di rentang 1997-2012 dan memiliki perbedaan signifikan dengan generasi-generasi sebelumnya yakni keterikatan yang erat dengan gadget dan teknologi informasi. Generasi Z dikatakan dianggap kehilangan kemampuan dasar untuk menjadi dewasa. Gen Z has lost the ability to manage basic adulthood.
Kata kerja adulting atau pendewasaan adalah untuk menggambarkan tugas sehari-hari seperti mencuci pakaian atau berbelanja bahan makanan yang merupakan ciri-ciri kedewasaan, dicetuskan pertama kali oleh penulis AS Kelly Williams Brown pada tahun 2008.
Beberapa contoh kondisi ironis adalah Generasi Z dikatakan tidak memiliki keberanian untuk pindah dan keluar dari rumah, mengangkat panggilan telepon, atau bahkan membiarkan tumpukan email tidak terbaca di inbox mereka.
Penyebab utamanya adalah banyaknya tekanan atau pressure.
Keengganan untuk menghadapi tekanan ini yang kemudian merembet ke kehidupan sehari-hari seperti keengganan mencuci pakaian, belanja, atau menyiapkan makan malam, yang membuat mereka semakin lambat masuk ke dalam proses pendewasaan di atas.
Relita miris juga terjadi di Indonesia dimana Pemberitaan Kompas (17/5) menunjukkan pada tahun 2023, ada sekitar 9,9 juta penduduk Indonesia yang berusia 15 - 24 tahun yang tidak bekerja dan tidak sedang sekolah (not in employment, education, and training/NEET).
Usia tersebut masuk ke dalam kriteria Generasi Z, dan menjadi bagian dari bonus demografi Indonesia.
Bonus Demografi
Istilah bonus demografi menggambarkan adanya proporsi penduduk usia produktif yang lebih tinggi dari usia tidak produktif.
Bonus demografi ini disebabkan oleh adanya penurunan angka kelahiran terutama disebabkan adanya pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) sejak tahun 1970-an yang menurunkan laju pertambahan penduduk. Kebijakan ini juga diiringi dengan penurunan angka kematian melalui kebijakan peningkatan kualitas kesehatan.
Indonesia kemudian mengalami transisi demografi atau perubahan struktur umur penduduk, dimana proporsi anak-anak usia 15 tahun ke bawah menurun dengan cepat, diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk usia kerja dan peningkatan perlahan penduduk lansia.
Dengan demikian, Indonesia memasuki periode bonus demografi sejak tahun 1980-an yang kemudian mencapai puncak pada tahun 2020-2030.
Pada tahun 2030, diperkirakan proposi penduduk usia 15-64 tahun di Indonesia mencapai angka 68,1% dan angka rasio ketergantungan sebesar 46,9.
Realita Pasar Tenaga Kerja
Jika 9,9 juta penduduk Indonesia yang berusia 15 - 24 tahun di atas bisa masuk ke pasar tenaga kerja, berapa pendapatan yang seharusnya bisa mereka dapatkan? Berapa rata-rata pendapatan yang diterima oleh kelompok umur yang sama?
Kita dapat menggunakan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) berupa Data Statistik Pendapatan Agustus 2023. BPS membagi kelompok umur dibagi menjadi tiga yakni remaja (15-24 tahun), produktif (25-54 tahun), dan dewasa (55+ tahun).
Rata-rata pendapatan bersih sebulan pekerja bebas di Indonesia pada Agustus 2023 menurut kelompok umur adalah sebagai berikut: Remaja (15-24 tahun) Rp.1,503 juta, kelompok produktif (25-54 tahun) Rp.1,787 juta, dan kelompok dewasa (55+ tahun) Rp.1,348 juta
Tentu saja karena ini adalah nilai rata-rata, maka akan ada banyak orang yang memiliki pendapatan jauh lebih tinggi dari angka-angka di atas. Atau sebaliknya, ada banyak orang yang memiliki pendapatan lebih rendah dari angka-angka tersebut.
Publikasi BPS juga menjukkan pengaruh penting pendidikan. Jika dilihat dari tingkat pendidikan, semakin tinggi pendidikan yang ditamatkan, maka semakin tinggi rata-rata pendapatan bersih sebulan pekerja bebas. Datanya sebagai berikut: Pekerja tidak pernah sekolah/belum tamat SD Rp.1,325 juta, tamat SD Rp.1,622 juta, tamat SMP Rp.1,838 juta, dan tamat SMA ke atas Rp.1,884 juta
Data di atas menunjukkan pekerja bebas berpendidikan SMA ke atas memiliki rata-rata pendapatan bersih tertinggi bila dibandingkan level pendidikan yang lain.
Sementara itu, berapa lama rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk mencari kerja?
Hasil penelitian Friska (2021) dengan menggunakan data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) Panel tahun 2017 menunjukkan umur tidak produktif dan tingkat pendidikan tinggi akan memperpanjang waktu pencari kerja untuk mendapatkan pekerjaan.
Rata-rata lama mencari kerja kelompok umur remaja (15-24 tahun) dan dewasa (55 Tahun ke atas) yaitu 11,30 bulan sedangkan kelompok umur produktif (25-54 tahun) yaitu 10,08 bulan.
Bila dilihat dari tingkat pendidikan, rata-rata lama mencari kerja seseorang dengan pendidikan tamat SD sekitar 8,32 bulan, tamat SMP/sederajat sebesar 9,85 bulan, tamat SMA/sederajat sebesar 11,21 bulan, dan tamat Perguruan Tinggi sebesar 11,55 bulan.
Lebih lanjut, Friska (2021) menemukan implikasi atas hal ini adalah sebagai berikut:
Pertama, pencari kerja dengan pendidikan tinggi tidak diuntungkan di dalam pasar tenaga kerja (memiliki durasi pengangguran lebih lama daripada pencari kerja berpendidikan rendah).
Hal ini mungkin terjadi dikarenakan upah reservasi pencari kerja berpendidikan tinggi lebih besar daripada pencari kerja berpendidikan rendah. Hal ini menyebabkan pencari kerja yang dengan pendidikan tinggi tersebut akan lebih memilih untuk lebih lama menganggur agar menemukan pekerjaan yang cocok dengan tingkat pendidikan mereka.
Kedua, tidak ada perbedaan yang kuat antara perempuan dan laki-laki, mengenai durasi pengangguran;
Ketiga, pengangguran pada kelompok umur tidak produktif (15-24 tahun dan 55 tahun ke atas) memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk tetap menganggur dibanding umur produktif (25-54 tahun).
Kondisi-kondisi di atas turut memperbesar tekanan pada individu untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja.
Membiayai Kelompok tidak Produktif
Tekanan juga lebih besar karena pekerja usia produktif juga berhadapan dengan semakin meningkatnya pengeluaran untuk membiayai kelompok tidak produktif (usia 65 tahun ke atas) karena usia harapan hidup yang semakin panjang.
Usia harapan hidup penduduk Indonesia saat ini lebih panjang daripada generasi-generasi sebelumnya. Pada tahun 2021, usia harapan hidup penduduk Indonesia mencapai 67,57 tahun. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding tahun 2000 yang mencapai 66,33, tahun 1980 yang mencapai 58,75 tahun, dan tahun 1960 yang berada di angka 46,45 tahun.
Usia harapan hidup yang semakin panjang ini disebabkan oleh semakin membaiknya kondisi nutrisi, ketersediaan layanan kesehatan, serta semakin meluasnya akses pengetahuan sehingga masyarakat bisa mengenali pola hidup sehat serta mengantisipasi kondisi sakit.
Di sisi lain, panjangnya usia harapan hidup membawa implikasi semakin panjang penduduk usia tidak produktif (65 tahun ke atas) yang harus dibiayai (seperti biaya sehari-hari, biaya kesehatan), dimana beban ini akan jatuh ke pundak penduduk yang produktif.
Take Away Note
Dengan tekanan pada pasar tenaga kerja ditambah tuntutan membiayai penduduk usia tidak produktif yang semakin panjang, bagaimana bonus demografi diharapkan juga bisa menjadi penggerak ekonomi Indonesia? Secara lebih spesifik, apakah Generasi Z sudah siap menghadapi tantangan tersebut?
Ketidakmampuan mereka untuk bersaing di dunia tenaga kerja bisa jadi akan membuat mereka tersingkir dari kompetisi, mendapatkan pendapatan lebih rendah dari rekan seusianya, dan meningkatkan ketidakmampuan membiayai generasi yang tidak produktif. Jika ini terjadi, upaya peningkatan standar hidup akan sulit tercapai.
Maka kesiapan tenaga kerja, terutama Generasi Z, untuk menghadapi tantangan dan siap masuk ke pasar tenaga kerja merupakan tanggung jawab bagi kita semua. Jangan sampai bonus demografi tidak serta merta berarti bonus ekonomi.
Referensi:
https://gagosian.com/quarterly/2023/08/11/essay-tetsuya-ishida-my-weak-self-my-pitiful-self-my-anxious-self/
https://money.kompas.com/read/2024/05/17/135502126/99-juta-gen-z-indonesia-tidak-bekerja-dan-tidak-sekolah
https://www.nzherald.co.nz/lifestyle/gen-z-has-lost-the-ability-to-manage-basic-adulthood/Y2VHFHPV4VCKJL7PJR6E5BEHWY/
https://www.nzherald.co.nz/nz/longer-lifespans-could-be-genuinely-horrific-researcher-says/DAYS3NAG65DI7P5GVGQAICAKRM/
https://www.telegraph.co.uk/columnists/2024/05/09/generation-z-has-lost-the-ability-to-behave-like-adults/
https://www.bps.go.id/id/publication/2023/12/08/35c68629befbe304809db9fc/statistik-pendapatan-agustus-2023.html
Friska, M. (2021). Analisis Survival Lama Mencari Kerja di Indonesia. Media Edukasi Data Ilmiah dan Analisis (MEDIAN), 4(02), 35-46.
Nasution, M. (2021). Studi Hubungan Bonus Demografi, Indeks Pembangunan Manusia, dan Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan dengan Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Budget: Isu dan Masalah Keuangan Negara, 6(1), 74-95.