Bagaimana Cara Selandia Baru Meminimalkan Sampah
Tempat sampah di the University of Waikato, New Zealand (Sumber: istimewa)
Hampir separuh sampah yang masuk ke tempat pembuangan sampah di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia berasal dari sampah rumah tangga. Ini mungkin berkaitan dengan banyaknya warisan kuliner di Indonesia. Banyaknya variasi kuliner serta harga yang terjangkau membuat sebagian masyarakat tidak keberatan membeli makanan jadi daripada masak sendiri.
Kemewahan ini—jika dibandingkan dengan Selandia Baru—yang jika tidak diimbangi dengan pengetahuan yang baik tentang mengelola sampah bukan tidak mungkin akan semakin memperburuk kondisi penanganan sampah di Indonesia.
Saya mencoba melihat kehidupan warga di Selandia Baru yang bisa berdampak bagi pengelolaan sampah.
Pertama, membawa bekal sendiri. Wisata kuliner di Selandia Baru lebih terbatas, makanannyapun kebanyakan makanan dari mancanegara seperti masakan India, Eropa, Melayu, atau Chinese food. Kesamaan dari mereka semua adalah harganya yang tidak bisa dikatakan murah. Sepotong sandwich bisa seharga NZD 8, atau sekitar Rp. 80.000 dengan kurs NZD 1 = Rp. 10.000. Atau nasi lemak dengan lauk ayam atau rendang seharga NZD 15 atau sekitar Rp. 150.000.
Bagi kebanyakan penduduk Selandia Baru, nominal ini sebenarnya bukanlah nominal yang besar. Namun makan di luar setiap hari, tiga kali sehari, juga bukanlah pilihan yang bijak. Maka, kebanyakan orang membawa bekal sendiri. Karyawan, anak sekolah bahkan anak kuliah juga terbiasa membawa bekal. Selain lebih hemat, membawa bekal juga hemat waktu dan sekaligus mengurangi jumlah sampah bungkus kemasan.
Kedua, pembungkus bisa dipakai berulangkali atau berbahan dasar kertas daur ulang. Kebanyakan rumah makan yang menyediakan jasa take away atau delivery menggunakan wadah plastik yang bisa berulangkali dipakai. Konsumen bisa mencuci dan menggunakannya lagi untuk membungkus makanan yang lain. Untuk makanan yang kering, seperti ayam goreng atau kebab, pembungkusnya biasanya berbahan dasar kertas. Bahan dasar kertas membuatnya bisa didaur ulang.
Di industri retail, supermarket tidak lagi menyediakan kantong plastik gratis. Ada yang tetap menyediakan kantong plastik namun berbayar, ada yang mengarahkan pelanggan menggunakan kardus pembungkus barang mereka sebagai pengganti kantong belanja, dan ada yang menjual tas belanja dari kain dengan harga terjangkau. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk membawa tas belanja sendiri.
Ketiga, adalah pemilahan sampah sejak dari rumah tangga. Setiap keluarga memilah sampah menjadi tiga jenis. Pertama adalah sampah plastik, kaleng, dan kaca. Semuanya akan masuk ke dalam wadah daur ulang. Kedua, sampah kertas dan kardus. Ini juga akan didaur ulang. Ketiga, sampah yang tidak masuk kedua kategori sebelumnya, masuk ke kantong plastik hitam. Jenis ini yang akan dibuang di tempat pembuangan sampah akhir.
Ketiga jenis sampah tadi akan diangkut dengan tiga truk yang berbeda di hari yang sama. Hal ini mendorong masyarakat rajin memilah sampahnya sendiri karena masyarakat tahu bahwa sampah mereka telah berada di jalur yang tepat untuk didaur ulang atau dibawa ke tempat pembuangan sampah. Di sisi lain, adanya pemilahan ini efektif mengurangi jumlah sampah yang dibuang di tempat pembuangan akhir.
Keempat, adanya keran air minum di berbagai tempat publik, seperti kantor, sekolah, kampus, taman, bahkan pusat perbelanjaan. Maka daripada mengeluarkan uang sebesar NZD 1,5, setara Rp. 15.000 untuk membeli air minum dalam kemasan botol ukuran 1,5 liter, akan lebih hemat bagi masyarakat untuk membawa botol air sendiri.
Kelima, adanya toko barang bekas. Status negara maju tidak membuat orang-orangnya gengsi membeli dan menggunakan barang bekas pakai, yang kebanyakan memang barang original. Masyarakat juga sadar untuk tidak membeli barang bajakan; harga boleh murah namun kualitas tidak akan bisa menyamai barang asli. Anak-anak di sekolah dasar juga diajarkan untuk membuat kerajinan dengan bahan-bahan bekas pakai yang bisa didapat dari rumah, seperti dari kotak bungkus makanan atau karton tisu toilet.
Semua hal di atas adalah aplikasi dari rumusan 3R dalam mengelola sampah, yakni reduce, reuse, dan recycle. Reduce berarti mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan. Reuse berarti menggunakan lagi suatu barang, baik untuk tujuan semula atau untuk tujuan yang berbeda. Contohnya seperti menggunakan wadah plastik tempat makan yang bisa berulangkali dipakai. Terakhir adalah recycle, yang berarti mengubah suatu barang untuk kemudian dibentuk menjadi barang yang baru.
Kesuksesan program pengurangan sampah juga tidak terlepas dari program jelas pemerintah tentang pengelolaan sampah dalam jangka panjang. Hal ini bisa meliputi target pengurangan jumlah sampah yang dikirim ke tempat pembuangan akhir, pengurangan jumlah sampah yang dihasilkan setiap rumah tangga, dan peningkatan jumlah sampah yang bisa didaur ulang.
Tentu saja, tantangan di Indonesia sangat berbeda. Urusan perut masih lebih penting daripada urusan sampah. Namun jika sampah tidak tertangani, maka dampak lingkungan dan kesehatan akan jauh lebih besar dan akan ada lebih banyak biaya yang harus dikeluarkan.
== Update 13 Agustus 2019 ==
Sejak 1 Juli 2019, Selandia Baru melarang penggunaan plastik belanja sekali pakai. Lihat informasinya di sini
(Thomas Soseco)
(Thomas Soseco)